Keberadaan asas-asas umum pemerintahan yang layak di Indonesia (selanjutnya disingkat AAUPL) ini belum diakui secara yuridis formal sehingga belum memiliki kekuatan hukum formal. Ketika pembahasan RUU No. 5 Tahun 1986 di DPR, fraksi ABRI mengusulkan agar azas-azas tersebut dimasukan sebagai salah satu alasan gugatan terhadap keputusan badan/pejabat tata usaha negara, akan tetapi usulan ini tidak diterima oleh pemerintah dengan alasan yang dikemukakan oleh Ismail Saleh, selaku Menteri Kehakiman waktu itu yang mewakili pemerintah.
1. ASAS KEPASTIAN HUKUM.
Asas kepastian hukum mempunyai dua aspek, yang satu lebih bersifat hukum material, yang lain bersifat formal. Aspek hukum material terkait erat dengan asas kepercayaan. Dalam banyak keadaan asas kepastian hukum menghalangi badan pemerintahan untuk menarik kembali suatu keputusan atau mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan. Dengan kata lain, asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali. Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta bahwa ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-ketetapan yang menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas kepastian hukum memberi hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki dari padanya. Unsur ini memegang peran misalnya pada pemberian kuasa surat-surat perintah secara tepat dan tidak mungkin adanya berbagai tafsiran yang dituju harus dapat terlihat, kewajiban- kewajiban apa yang dibebankan kepadanya.
2. ASAS KESEIMBANGAN.
Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan seorang pegawai. Asas ini menghendaki pula adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan oleh seseorang sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada dan seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian hukum. Artinya terhadap pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan oleh orang yang berbeda akan dikenakan sanksi yang sama, sesuai dengan kriteria yang ada.
Di Indonesia asas keseimbangan ini terdapat contoh dalam hukum positif yang berisi kriteria pelanggaran dan penerapan sanksinya yaitu sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai. Dalam pasal tersebut ditentukan sebagai berikut :
1. Hukum disiplin ringan berupa;
a. Tegoran Lisan
b. Tegoran Tertulis
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis.
2. Hukuman disiplin sedang berupa;
a. Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun
b. Penurunan gaji yang besarnya satu kali kenaikan gaji berkala untuk
paling lama satu tahun
c. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.
3. Hukuman disiplin berat berupa;
a. Penurunan pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama
satu tahun
b. Pembebasan dari jabatan
c. Pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
3. ASAS KESAMAAN DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN.
Asas ini menghendaki agar badan pemerintah mengambil tindakan yang sama (dalam arti yang bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama. Meskipun demikian, agaknya sukar ditemukan adanya kesamaan mutlak dalam dua atau lebih kasus, oleh karena itu menurut Philipus M. Hadjon, asas ini memaksa pemerintah untuk menjalankan kebijaksanan. Bila pemerintah dihadapkan pada tugas baru yang dalam rangka itu harus mengambil banyak sekali KTUN, maka pemerintah memerlukan aturan- aturan atau pedoman-pedoman. Bila pemerintah sendiri menyusun aturan- aturan (pedoman-pedoman) itu untuk memberi arah pada pelaksanaan wewenang bebasnya, maka itu disebut aturan-aturan kebijaksanaan. Jadi tujuan aturan aturan kebijaksanaan ialah menunjukkan perwujudan asas perlakuan yang sama atau asas persamaan yang berlaku bagi setiap orang.
4. ASAS BERTINDAK CERMAT ATAU ASAS KECERMATAN.
Asas kecermatan mensyaratkan agar badan pemerintahan sebelum mengambil keputusan, meneliti semua fakta yang relevan dan memuaskan pula semua kepentingan yang relevan dalam pertimbangannya. Bila fakta- fakta penting kurang teliti, itu berarti tidak cermat. Asas kecermatan membawa serta, bahwa badan pemerintah tidak boleh dengan mudah menyimpangi nasehat yang diberikan apalagi bila dalam panitia penasihat itu duduk ahli-ahli dalam bidang tertentu. Penyimpangan memang dibolehkan, tetapi mengharuskan pemberian alasan yang tepat dan kecermatan yang tinggi.
5. ASAS MOTIVASI UNTUK SETIAP KEPUTUSAN.
Asas ini menghendaki agar setiap keputusan badan-badan pemerintah harus mempunyai motivasi atau alasan yang cukup sebagai dasar ini harus benar dan jelas, sehingga pihak administrable memperolah pengertian yang cukup jelas atas keputusan yang ditujukan kepadanya. Asas pemberian hal ini dapat dibedakan dalam tiga sub varian berikut ini:
a. Syarat bahwa suatu ketetapan harus diberi alasan
Pemerintah harus dapat memberikan alasan mengapa ia telah mengambil suatu ketetapan tertentu. Yang berkepentingan berhak mengetahui alasan-alasannya. Bila suatu ketetapan merugikan satu orang atau lebih yang berkepentingan, pemerintah yang baik mensyaratkan bahwa pemberian alasan sedapat mungkin segera diumumkan atau diberitahukan bersama-sama dengan ketetapan. Agar perlindungan hukum administrasi dapat berfungsi dengan baik, hak memperoleh alasan-alasan dari suatu ketetapan ini penting sekali. Sebab yang berkepentingan tidak dapat menyusun argumentasi yang baik dalam permohonan banding atau surat keberatannya, bila ia tidak mengetahui dasar-dasar apa yang akan dipakai untuk ketetapan yang merugikan dirinya. Juga bagi hakim tersedianya dasar-dasar ini merupakan keharusan, karena sukar untuk menilai isi dari ketetapan yang diambil, tanpa memiliki argumentasi.
b. Ketetapan harus memiliki dasar fakta yang teguh
Fakta yang menjadi titik tolak dari ketetapan harus benar. Bila ternyata bahwa fakta-fakta pokok berbeda dari apa yang dikemukakan atau diterima oleh badan pemerintah, maka dasar fakta yang teguh dari alasan- alasan tidak ada. Dalam hal ini biasanya terdapat cacat dalam kecermatan.
c. Pemberian alasan harus cukup dapat mendukung
Pemberian alasan di samping harus masuk akal juga secara keseluruhan harus sesuai dan memiliki kekuatan yang menyakinkan. Karena pada umumnya hampir semua yang cacat dalam suatu ketetapan dapat dikembalikan pada cacat dalam pemberian alasan. Begitu pula keadaan- keadaan interprestasi Undang-undang yang keliru kadang kala dikembalikan pada cacat dalam pemberian alasan dari pada bertentangan dengan suatu peraturan yang keliru atau suatu aturan kebijaksanaan, mengarah pada kesimpulan adanya pemberian alasan yang cacat.
6. ASAS TIDAK MENCAMPURADUKAN KEWENANGAN.
Kewenangan pemerintah secara umum mencakup tiga hal;
Kewenangan dari segi material, kewenangan dari segi wilayah, dan kewenangan dari segi waktu. Seorang pejabat pemerintah memiliki wewenang yang sudah ditentukan dalam aturan perudang-undagan baik dari segi material, wilayah maupun waktu. Aspek-aspek wewenang ini tidak dapat di jalankan melebihi apa yang sudah ditentukan dalam peraturan yang berlaku. Artinya asas tidak mencampuradukan kewenangan ini menghendaki agar pejabat pemerintah tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang yang melampaui batas.
7. ASAS PERMAINAN YANG LAYAK (FAIR PLAY).
Asas ini penting dalam peradilan administrasi negara karena terdapat perbedaan kedudukan antara pihak penggugat dengan tergugat. Pejabat selaku pihak tergugat secara politis memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding dengan kedudukan penggugat. Selaku pihak yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi, tergugat akan lebih sukar mengakui kekeliruan atau kesalahan yang dilakukannya karena hal ini berkaitan dengan kredibilitas dan harga diri dari pejabat negara yang bersangkutan.
8. ASAS KEADILAN DAN KEWAJARAN.
Asas ini menghendaki setiap tindakan badan atau pejabat administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas keadilan menuntut tindakan secara proporsional, sesuai, seimbang dan selaras dengan hak setiap orang. Karena itu, setiap pejabat pemerintah dalam melakukan tindakannya harus selalu memperhatikan aspek keadilan ini. Sedangkan asas kewajaran menekan agar aktifitas pemerintah memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, baik itu berkaitan dengan agama, moral, adat istiadat, maupun nilai-nilai lainnya.
9. ASAS KEPERCAYAAN DAN MENANGGAPI PENGHARAPAN YANG WAJAR.
Asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi negara. Oleh karena itu aparat pemerintah harus memperhatikan asas ini sehingga jika suatu harapan sudah berlanjut diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak menguntungkan bagi pemerintah. Menurut Indroharto : asas ini muncul karena dua sebab;
- pertama, harapan-harapan dapat terjadi dengan perundang-undangan, perundang-undangan semu, dengan garis tetap keputusan-keputusan yang sama tapi detik itu tetap secara konsisten dilakukan penguasa, penerangan dan penjelasan-penjelasa yang telah diberikan oleh penguasa yang bersangkutan, kesanggupan-kesanggupan yang dikeluarkan, beschikking yang sebelumnya dikeluarkan, suatu perjanjian yang telah dibuat, atau dengan perbuatan-perbuatan faktual penguasa, dengan membiarkan keadaan ilegal berjalan beberapa waktu;
- kedua, syarat diposisi, atas dasar kepercayaan yang ditimbulkan itu seorang telah berbuat sesuatu yang kalau kepercayaan itu tidak ditimbulkan pada dirinya, ia akan berbuat demikian. Contohnya ia mengira gajinya mesti naik sekian bulan depan karena sudah diberi tahU oleh atasannya, karenanya ia mengadakan pengeluaran-pengeluaran yang tidak akan ia lakukan kalau ia tidak ditimbulkan kepercayaan itu pada dirinya. Setelah ia mengadakan pegeluaran ekstra, tentunya ia menderita kerugian yang disebabkan oleh kepercayaan yang ditimbulkan tersebut.
10. ASAS MENIADAKAN AKIBAT SUATU KEPUTUSAN YANG BATAL.
Di Indonesia ketentuan asas ini terdapat pada pasal 9 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi; Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, berhak menuntut gati kerugian dan rehabilitasi”. pengertian rehabilitasi terdapat dalam pasal 1 butir 23 KUHP yaitu, hak seorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyelidikan, penuntutan ataupun peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang- undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini. Dalam kaitanya dengan pegawai negeri, menjelaskan pasal 21 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 disebabkan bahwa rehabilitasi pemulihan hak penggugat di kemampuan kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula, sebelum ada keputusan yang disengketakan. Di pemulihan hak tersebut termasuk juga hak-hak yang ditimbulkan oleh kemampuan kedudukan dan harkat sebagai pegawai negeri.
11. ASAS PERLINDUNGAN ATAS PANDANGAN ATAU CARA
HIDUP PRIBADI.
Bagi bangsa Indonesia tentunya asas ini harus pula dikaitkan dengan sistem keyakinan, kesusilaan, dan norma-norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, atau sebagaimana disebutkan Kuntjoro Purbopranoto, asas tersebut harus disesuaikan dengan pokok-pokok Pancasila dan UUD 1945. Benar bahwa pandangan hidup seseorang merupakan hak asasi yang harus dihormati dan dilindungi, akan tetapi penggunaan hak itu sendiri akan berhadapan dengan norma dan sistem keyakinan yang diakui dan dijunjung tinggi. Artinya pandangan hidup seseorang itu tidak dapat digunakan manakala bertentangan dengan norma-norma suatu bangsa.
12. ASAS KEBIJAKAN.
Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya diberi kebebasan untuk menerapkan kebijakannya tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan formal. Karena peraturan perundang-undangan formal atau hukum tertulis selalu membawa cacat bawaan yang berupa tidak fleksibel dan tidak dapat menampung semua persoalan serta cepat ketinggalan zaman, sementara perkembangan masyarakat bergerak dengan cepat, tetapi juga dituntut untuk berpandangan luas dan jauh serta mampu memperhitungkan akibat-akibat yang muncul dari tindakannya tersebut.
13. PENYELENGGARAAN KEPENTINGAN UMUM
Pada dasarnya pemerintah dalam menjalankan berbagai kegiatan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (asas legalitas), akan tetapi karena ada kekurangan asas legalitas seperti tersebut di atas, pemerintah dapat bertindak atas dasar kebijaksanaan untuk menyelenggarakan kepentingan umum.
Penyelenggaraan kepentingan umum dapat berwujud hal-hal sebagai
berikut :
a. Memelihara kepentingan umum yang khusus mengenai kepentingan
negara. Contohnya tugas pertahanan dan keamanan.
b. Memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama dari
warga negara yang tidak dapat dipelihara oleh warga negara sendiri.
contohnya persediaan sandang pangan, perumahan, kesejahteraan, dan
lain-lain.
c. Memelihara kepentingan bersama yang tidak seluruhnya dapat
diselenggarakan oleh warga negara sendiri, dalam bentuk bantuan negara.
Contohnya pendidikan dan pengajaran, kesehatan dan lain-lain.
d. Memelihara kepentingan dari warga negara perseorangan yang tidak
seluruhnya dapat dilaksanakan oleh warga negara sendiri, dalam bentuk
bantuan nagara. Adakalanya negara memelihara seluruh kepentingan
perseorangan tersebut. contohnya pemeliharaan fakir miskin, anak yatim,
anak cacat, dan lain-lain.
e. Memelihara ketertiban dan keamanan, dan kemakmuran setempat.
Contohnya peraturan lalu lintas, pembangunan, perumahan dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar